Tag Archives: Kesendirian

Malam terakhir

Dia melipat kertas itu. Menyusuri sisinya dengan ibu jari. Ujungnya mengelam dengan perlahan. Angin dingin menggelitik punggungnya. Ia menoleh. Pintu belakang rupanya terbuka. Untuk beberapa saat, ia terpaku menatapnya.

Jarinya bergerak kembali. Ujung kertas bertemu dengan ujung yang lain. Tersatukan untuk membentuk sirkulasi tanpa akhir. Ia lalu menaruhnya baik-baik di atas 2 tumpuk buku yang lain.

Di sisi kanannya, kini tertumpuk tiga buku. Matanya bergerak pada puluhan buku yang tertumpuk sembarang. Banyak pula yang terserak. Mereka menanti tuannya, untuk membawa kemanapun arah yang dituju.

Dia mengambil salah satu dari tumpukan semrawut itu. Kedua tangannya meletakkannya di atas meja yang tepat berada di hadapannya. Ia terjepit antara dua tepi yang simetris, dengan ruang terbuka yang jadi pilihannya.

Buku itu miring. Ia membetulkannya, hingga lurus, tegak lurus dengan tepi meja dimana tubuhnya menempel sepanjang malam ini.

Jarinya meraba permukannya, yang sedikit kasar. Buku dengan sampul tebal dengan tekstur yang menggugah selera. Dengan ujung yang tajam-runcing, menunjuk pada empat arah.

Dia meraih selembar kertas tipis di sisi kanannya. Jarinya yang tanpa kelebihan kuku membalut lagi buku itu. Lantunan lagu Jawa yang mendayu teriring oleh alun gamelan yang mistis mengisi ruang-ruang di kepalanya.

Kepala itu pelan menoleh ke arah radio tape, instrumen yang sudah menjadi klasik sekarang ini. Suara lagu itu sedikit terguncang, mungkin oleh pita yang sudah kusut. Lalu, berhenti tanpa aba-aba.

Menghela napas, ia meninggalkan ritual yang tengah ia lakukan, menghampiri radio tape itu. Benar saja, pikirnya, pitanya tercerabut dari bungkusnya. Ia menarik pita itu, mengelus-elusnya pelan supaya licin lagi.

Matanya terpejam khidmat kala radio itu kembali bersenandung.

Beberapa saat telah lewat, dan alunan lagu itu masih merdu. Suara sinden melengking dengan halus. Dia mengusap radio tua itu. Radio yang sudah jauh lebih tua dari dirinya itu.

Dia melangkah, hendak kembali ke mejanya. Gaung langkahnya berdentum lembut. Hanya dia yang mendengarnya. Dan Tuhan. Mungkin, Tuhan.

Kesepuluh jarinya menyentuh tepian meja. Hingga berderit kaki-kaki meja terdorong oleh seluruh tumpuan badannya. Meja itu bergetar, seirama dengan seluruh tubuhnya.

Bergemeletuk.

Mengadu kepada lantai yang menopangnya.

Protes tak henti-henti pada lemari, kursi, lampu, semua yang memandang bisu.

Lima menit itu menghabiskan seluruh energi di sepanjang hidupnya. Kepalanya yang menekur kini tegak lagi. Tangannya mengusap mukanya, meluruhkan kulit yang telah terpasang puluhan tahun.

Tangan kirinya mengambil sebuah buku lagi. Melipat kertas yang ada di bawahnya, hingga seluruh eksistensi buku itu lenyap dari matanya.

Dia menoleh lagi. Menatap pintu belakang rumahnya yang terbuka. Dari baliknya, temaram lampu sedikit mengusir kegelapan yang menakutkan.

“Oh, kamu datang. Aku belum selesai, maukah kau menunggu sedikit lagi?”

TAMAT

Depok, 7 Juli 2019

Manusia, yang Sendirian

shalat-dan-tandus
Gambar diambil dari kanzunqalam.com

 

Hanya ada padang tandus. Kakiku menapak pasir kering, kasar. Sesekali kerikil tajam menusuk. Entah sudah berapa titik darah di sana. Menyengat. Tapi, aku tak peduli.

Kehampaan adalah jalan yang paling menakutkan.

Dari belakang, seolah ada hantu yang mengikuti. Dan mungkin kau akan merasa senang karenanya. Tapi, tidak. Hanya bayangan kelam yang mencemooh. Mencemooh ketakutanmu. Mungkin sekali, kau akan takut padanya. Lebih dari apapun juga.

Dunia hancur pada tahun 2020 Masehi.

Manusia tidak suka dibangunkan dari mimpi panjangnya. Bahwa mereka tidak sendiri. Bahwa beragam kaum mengiringi langkah mereka. Dan bisa menguasai mereka. Tahun 2014, semua orang harus keluar dari rongga mimpinya. Menghadapi kenyataan. Kau tidak bisa bayangkan. Seseorang yang keluar dari cangkang.

Kebingungan. Kewaspadaan.

Sesama saudara saling menatap curiga. Tali persahabatan terputus. Di hadapan mereka, monster-monster tumbuh. Bahkan, mereka tidak lagi menatap cermin. Takut pada apa yang akan mereka lihat dari refleksinya.

Tidak ada yang lebih buruk daripada manusia di tengah kelimbungan. Sebuah status quo yang menganga. Status quo dari kepercayaan. Status quo dari keyakinan. Para penguasa telah mati. Manusia sibuk mencari satu sosok baru. Yang bisa menjadi pegangan mereka. Dan ia tidak perlu mengucap kebenaran. Hanya satu sosok yang bisa membenarkan superioritas mereka sebagai manusia, bahwa mereka masih jadi pemimpin atas semua makhluk di muka bumi.

“Dan satu orang terbunuh,” bisikku, berbicara, kepada pasir di kakiku. Pada beliung kecil yang berada di sampingku. Bagai sahabat yang hilang. Aku berbicara pada mereka. Tanpa jawaban. Dulu, pernah aku berbicara, dan marah pada orang yang menjawab. Dan aku berharap masih bisa beradu mulut dengan mereka.

Menurutmu, perang menakutkan? Bagiku, tidak. Perang memberikan jalan untuk manusia mengeluarkan nafsu kebinatangan mereka. Mereka membunuh. Menyiksa orang yang tidak sejalan. Lalu, memperkosa. Lahir-batin. Hanya untuk menjadi superior. Meyakini bahwa mereka lebih tinggi daripada yang lain. Bahwa mereka punya kuasa atas manusia lainnya.

Manusia mana yang tidak mencintai perang?

Perang sama sekali tidak menakutkan. Aku berjalan, melupakan perih di kaki, sengat di kepala. Sudah jauh. Berapa jauh, aku tidak menghitung. Manusia tidak pernah takut akan luka. Mereka menyukainya, seperti mereka menyukai drama-drama yang disuguhkan televisi. Darah adalah warna merah yang mereka butuhkan. Candu mereka.

“Perang sama sekali tidak menakutkan,” aku berbisik lagi. “Apa yang menakutkan adalah apa yang tersisa darinya.”

Ketiadaan.

Kehampaan.

Kesepian.

Aku merindukan orang-orang. Orang-orang yang bersekutu denganku. Orang-orang yang menjadi musuhku. Bahkan, mereka yang marah ketika aku menyatakan keyakinanku. Aku merindukan perselisihan dengan manusia lain. Siapa yang peduli akan perselisihan, saat kau tahu mereka masih ada di sisimu? Mereka masih menemanimu sekalipun dalam kebencian yang sangat? Mereka ada. Bukan dalam sosok yang kau mau, tapi mereka ada. Karena mereka ada, kau semakin tidak peduli. Karena mereka akan tetap ada, sekalipun tidak jadi sekutu. Dan kau akan mabuk dalam kenyamanan itu.

Matahari begitu terik. Air sudah habis. Aku harus menghemat sisa cairan di tubuhku.

Tapi, ia pun berkhianat. Sekali aku mengingat semua yang menghantui di belakang, tubuhku berbuat sesuatu yang berlawanan dengan yang ku mau. Pengkhianat. Aku berhenti melihat ke sekeliling. Aku berhenti berharap melihat satu sosok manusia yang akan menghampiriku. Kemana mereka semua?

Bahuku bergedik. Kepalaku tertunduk bagai ribuan ton yang membebaninya. Air yang tersisa dari tubuhku. Mengalir pelan dari kelopak mata. Satu titik. Dua titik. Berubah menjadi puluhan. Kini menjadi ribuan.

Kemana mereka semua?

Mereka habis di bawah semburan keberingasan. Mereka tewas di tengah serbu kebencian. Satu per satu, tumpas. Begitu banyak kematian, hingga manusia tidak peduli lagi siapa yang akan membasuh jenazah mereka. Siapa yang akan menguburkan mereka. Saat-saat terakhir, yang terpenting adalah sepasang tangan yang akan mendekap ketakutan mereka. Menampung air mata penyesalan mereka.

Aku bersujud. Tidak tahu pada siapa. Untuk siapa. Dan mataku terus berkhianat, membiarkan cairan tubuhku habis. Habis, aku habis. Aku sudah habis begitu aku terbangun sendirian. Sendiri. Hampa.

Temanku hanya waktu. Waktu yang terlalu banyak. Apa arti waktu, tanpa manusia?

Tahun 2016, manusia suka sekali menghitung waktu. Mereka lari darinya. Mereka lari mengejarnya. Waktu ada di dinding mereka, waktu ada di pergelangan mereka. Lupa, kalau waktu hanyalah tentang apa yang kita mau darinya.

Tahun nol, hari ini, aku tidak lagi mengejar waktu. Atau lari darinya. Dia bahkan rela menungguku, hingga aku berhenti bersikap bodoh. Berputus asa. Berputus asa adalah bodoh, karena kau tidak akan pernah tahu apa yang bisa kau temui di depan sana. Biar jaraknya tak mampu kau hitung.

Tapi, aku tidak bisa merasakan waktu. Aku tidak bisa merasakan napas yang membelai lembut saat ia bicara tentang kebahagiaan. Aku tidak bisa merasakan panas tubuh yang hampir-hampir menyengatku ketika aku berdekatan dengannya. Dan tak peduli berapa banyak aku menangis, aku tidak bisa merasakannya menepuk punggungku.

Tuhan, dimana Tuhan? Tidakkah ia mau menjawab kegelisahanku? Tidak lagi. Tuhan berbicara lewat manusianya. Saat manusia tidak lagi ada, kau turut kehilangan Tuhan. Karena Tuhan menciptakan manusia. Lalu, mengirimkan manusia agar kau memahami Tuhan. Tuhan, sesungguhnya, bisa dipahami lewat sosok manusianya.

Sosok yang Tuhan pilih sebagai pemimpin di atas bumi-Nya.

Aku bangkit. Tanpa apapun selain sehelai pakaian penutup aurat. Temanku tidak lagi bersifat fisik. Mereka hanya bayang-bayang yang ada di kepalaku. Waktu yang berjalan bersamaku. Harapan yang bersukacita di dalam pikiran.

Aku ingin mencari Tuhan, lewat kasih sayang manusianya.

Berjalan lagi. Aku tidak tahu harus berjalan seberapa jauh lagi. Di kepalaku, aku membayangkan seorang sosok. Dengan dua mata yang mungkin berwarna lain. Dengan hidung berbentuk lain. Dengan kulit berwarna lain. Pada saat itu, aku akan memeluknya. Sekali lagi merasakan, bahwa Tuhan masih mau berbicara lewatnya. Walau dengan bahasa yang lain.

Perang sama sekali tidak menakutkan. Apa yang menakutkan adalah apa yang tersisa darinya. Ketiadaan. Kehampaan. Manusia, yang kesepian.

 

 

sampai