DI SEBERANG REALITA

Sumber: Artur Tumasjan di Unsplash.com

Sepasang mata bertemu. Di antara dengung suara-suara, di antara denting gelas-gelas kaca. Di bawah pantulan sinar-sinar yang lalu membias kepada masing-masing makhluk. Di sela denting dawai harpa yang menggigil oleh sentuhan jari-jemari lentik.

Bagaimana aturan untuk ini? Sudah seharusnyakah aku menunggu di seberang dermaga selayaknya sesosok mercu suar yang patuh? Menunggu kapal mengarungi gelombang pasang yang bertalu-talu di geladaknya? Membiarkan takdir membuka sendiri tabir yang mengenyahkan maut demi sepasang bertaut?

Belum lagi berjawab, ketuk pelan telah terdengar. Melambungkan melodi yang mewakili hati yang berdebar tanpa suara.

Aku berjalan ke arahnya. Ke arah sepasang mata yang masih menyorot dari balik lensa buram. Hanya kepadaku.

“Melihat sesuatu yang menarik?” tanyaku, belum lagi kedua kakiku tetap menapak. Dia tertawa. Sederet gigi-giginya tampak dari balik celah kedua bibir yang tertarik.

“Takdir berkata …,” Suaranya berat tetapi halus seraya ia mengangkat gelas di tangannya, “Kepadaku kalau aku akan didatangi oleh wanita luar biasa.”

Dan dia mendekat, perlahan. Berikut tangannya yang memegang gelas dengan ujung memantulkan sinar lampu kristal. “Dan aku harus memberikan ini padanya.”

“Mungkin takdirmu buta?” Aku mengangkat tanganku sendiri. Yang memegang gelas.

Dia menggeleng dan mengambil gelas di tanganku. Aku mengangkat alis. Matanya terus terarah padaku, sedangkan tangannya telah mengarahkan tanganku pada gelasnya. Sentuhan itu ringan, tapi membuat jantungku melonjak-lonjak.

Jari kelingkingnya, yang menyentuh punggung tanganku, halus. Kaku, tetapi begitu lembut. Menjentikkan listrik statis di tengah ruang berpendingin 16 derajat celsius, dan segera mereka merayap cepat-cepat. Mengaliri nadi-nadi, menyergap ujung-ujung saraf. Otakku membeku, terlalu lemah oleh serangannya.

Aku terus menghitung bintik serupa bintang di langit malam yang berkilat di matanya. Semakin tak beraturan irama dalam diriku, semakin kacau tiap-tiap melodinya terserak. Suara halus itu terdengar lagi.

“Dia hanya penuh siasat.” Lelaki itu mendekatkan gelasku pada bibirnya dan menyesap pelan bibir gelas. Dan aku melakukan hal yang sama.

“Hmm, mungkin aku suka dengannya.”

Malam itu berakhir dengan dentang jam sebanyak dua belas, tapi sang wanita tidak pernah pulang dan menanggalkan sepatunya. Sorot-sorot lampu serupa permata yang menyambutnya. Menyambut lelakinya.

Selagi keduanya melangkah dengan gerak seirama, mereka menaungi, memberi petunjuk ke mana melangkah. Tidak pernah membiarkan keduanya tersesat. Ketika keduanya tertawa, mereka menyemarakkan keriangan itu. Ketika keduanya terdiam, mereka menemani dalam hening yang menghangatkan hati.

Aku mengangkat kepalaku, menuju pucuk gedung tertinggi yang tampak mengerucut di tengah-tengah langit malam. Jari telunjuk pun terangkat. Dan aku menyentuh hawa dingin malam itu kepada masing-masing titik cahaya.

“Satu, dua ….”

“Apa yang kauhitung?”

“Jiwa-jiwa petualang yang berani mengarungi laut Atlantik untuk bertarung dengan sang Dajjal!” sahutku, berseru dramatis.

“Berapa gelas kauminum malam ini?”

Aku mengalihkan pandangan kepada lelaki itu. Lelaki yang memikatku dalam sekejap. Yang matanya segera membelenggu dengan kuat. Hingga aku terlupa.

Lelakinya mengenakan tuksedo hitam dengan kerah melengkung, sedikit mengilap. Dasi kupu-kupu abu-abu gelap serasi dengan vest yang menyembul sepertiga bagian di balik kerah tuksedonya. Tangannya yang besar menyelinap ke balik pinggang sang wanita yang terbalut gaun terusan hitam.

Hitam bertemu hitam. Seakan melebur keduanya ketika jarak tak lagi tampak oleh mata. Tangan wanitanya terulur kepada bahunya, tinggal di sana seakan itulah rumah baginya. Jemari mereka bertaut di tengah udara malam, mengusir dinginnya, kulit putih pucat yang menyatu dengan kulit kuning langsat.

Aku tertawa lebar ketika ia memutar tubuhku, membiarkan rambut hitamku tergerai, bergelombang menyelusup di antara angin malam. Angin yang membalut kami tanpa ragu, tanpa resah. Biar pun berbeda kulit kami.

Nyaring dengking panjang memecah keheningan yang semarak di antara kami. Dia berseru, bahasa yang tak kukenal. Tangannya yang sedari tadi menyentuh lembut merengkuh kasar dan menuntut, menarikku menjauh. Dan angin yang santun berubah menjadi amuk menyerang menusuk-nusuk di kulit, menyibak helai rambut yang terserak.

Rasaku hampir tersentuh logam dingin yang baru saja berdesing cepat melewati kami.

Tangannya menyelusup ke balik jas. Revolver. GSh-18, Rusia. Aku refleks tersentak oleh suara letupan, biarpun teredam. Dia menoleh, tersenyum. Pongah.

Mendengus, aku menyibakkan gaun. Yang ujungnya menampar hingga ke wajahnya. Dan letupan lain terdengar. Aku membawa moncong pistol mendekati mulutku, meniup ujungnya.

Tertawa, dia berujar, “Walter P99. Nice choice.”

Aku menggeleng. Bisikku, “Great choice.”

Hening kembali. Denganku di pelukannya. Angin mendesah pelan di telingaku, berbisik meminta maaf. Dan dia kembali menyantuni kami. Tanpa memilih dua ujung hidung yang bertemu, yang hanya terpisah demi menjaga diri. Hidung yang pesek membulat dengannya yang tebal meruncing.

Dalam hati, aku mengulang kembali, satu, dua, …, sambil lekat memandangi mata lelaki di depanku. Semburat hijau dengan garis keemasan yang timbul malu-malu, sesekali menajam, menghujam. Apa yang dia temukan dariku?

Mata itu mengedip. Dan semua menghilang.

Di tangan kananku, sebuah baki hitam bulat dengan segelas champagne berdiri. Menyorong sedikit ke depan, di mana lelaki itu berada. Aku masih menghitung bintang keemasan yang mengerjap di matanya. Dia balas menatap. Perlahan, sepasang mata itu menyusuri sepasang mata yang kutahu kelam kecokelatan.

Hidung yang kutahu lebih pesek dan membulat.

Kulit yang kutahu lebih berwarna kuning daripada putih.

Dan kepalanya menunduk, terlalu rendah daripada dimauinya.

Can you take this back?” Dia menaruh gelas itu di atas baki hitam, mengambil gelas lain yang penuh setengahnya. Aku merasakan kedua ujung bibirku tertarik secara otomatis. Seakan ada seseorang yang menyentuh sakelarnya.

Gladly.” Aku menyahut, pun dengan otomatis.

Berbalik, aku mengarungi satu per satu manusia. Dengan tuksedo dan gaun malam yang panjang terurai. Dinaungi oleh lampu yang cahayanya saling terpantul dari dan kepada rekannya yang saling menyapa. Tidak akan mereka menyapa tungkai kayu yang menyembul hanya pada ujungnya dari balik kain beledu putih gading. Tidak akan mereka menyapa engsel tembaga berlapis kuningan di pintu yang kini kubuka, yang dengan saksama menyembunyikan karatnya.

Segala cahaya yang berpantulan meredup. Aku menghela napas di balik pintu ganda yang tertutup. Pelayan-pelayan bergaun dan berrompi hitam berjalan cepat dengan baki hitam di tangan.

“Cepat! Bawa ini!”

Aku pun tersenyum.


TAMAT

Leave a comment