PLOT
WARNING! BANYAK BANGET SPOILER!
Nah, ini yang kemaren hampir ketuker sama alur haha. Selama ini aku suka nyantai aja soal ngomongin alur sama plot ini, kupikir cuma beda istilah. Eh, taunya beda jauh. Sentilan banget buatku, nih!
Alur itu singkatnya arahan waktu ceritanya, apa menuju masa depan, apa balik ke masa lalu, dkk. Sedangkan, kalo plot lebih ke pembangunan kronologis dan logika cerita, kayak kenapa dia begini? Apa alasannya? Masuk akal gak, kalo diliat dari konteks sebab-akibatnya?
Unsur-unsur dalam plot ini biasanya pendahuluan ato prolog, konflik, klimaks, anti-klimaks, penutup ato epilog.
Di Resensi Novel Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer (Bagian Kedua), tentang alur cerita, aku udah jabarin kalo novel ini pake alur maju. Flashback diceritain kebanyakan lewat dialog-dialog. Sedikit lewat narasi.
Yang unik dari novel Pram kali ini, sekalipun, seperti biasa, tulisannya padat akan konflik, tapi adegannya sedikit banget. Ada adegan pendahuluan, yaitu khitannya adik Ningsih, trus dialog antara Hardo dengan calon bapak mertuanya, adegan antara Hardo dengan bapaknya sendiri, Hardo dengan rekan-rekan seperjuangannya.
Keluar dari sudut pandang Hardo, baru dimunculkan adegan antara pengkhianat Karmin dengan Nippon, lalu Karmin dengan Ningsih. Mendekati penutup, barulah semua pihak bertemu dalam satu adegan klimaks.
Totalnya ada berapa, tuh? Tujuh. Untuk novel, jumlah ini keliatan simpel banget, kan?
Sekarang, mari beralih ke plot. Plotnya sendiri adalah kisah perjuangan tentara PETA dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari perencanaan hingga pemberontakannya. Sampai kepada kegagalan mereka, yang berujung pada kisah para pemberontaknya diburu oleh tentara Nippon.
Kisah ini sendiri sebenernya jadi pendahuluan dari kisah kemerdekaan Indonesia. Dan kisah ini adalah simbol dari perjuangan orang Indonesia ke arah itu.
Novel ini dibangun dalam 4 bab, yang isinya tujuh adegan yang udah aku ceritakan di atas. Aku bagi-bagi lagi adegannya ini, ya.
Bab pertama, kisah pertemuan Hardo dengan Lurah Kaliwangan, sekaligus Bapak dari tunangan Hardo, Ningsih. Pada bab pertama ini, diceritakan tentang awal mula konflik Perburuan lewat dialog-monolog Lurah Kaliwangan.
Plotnya ini dibangunnya secara acak, dan gak berurutan. Makanya, perlu konsentrasi juga buat ngubung-ngubungin antara satu cerita dan cerita lainnya.
Plot awalnya sebenernya dari Hardo sebagai anggota PETA, yang pangkatnya udah jadi shodancho (komandan pleton). Digambarkan dalam pernyataan Lurah Kaliwangan di bawah ini :
Mengapakah anak jadi berubah sekarang? Kesenangannya yang dulu-dulu hilang. Berubah sama sekali sudah. Pakaian hijau dengan setrip dan pedang, selalu di samping opsir Nippon, turun naik mobil … lenyap semua sekarang.
Dialog antara Hardo dengan Lurah Kaliwangan – hal. 21
Lanjut ke kisah pemberontakan mereka, yang diceritakan dengan cara yang bener-bener halus, lewat pernyataan Dipo di bawah ini :
Engkau boleh melemparkan sumpahmu sebagai prajurit terhadap Nippon! tetapi sumpahmu sebagai prajurit di antara kita di gua Sampur tak boleh kau abaikan!
Dialog Hardo dan Dipo – hal. 90
Yang bagian ini, bisa dibilang aku lebih banyak nebak, karena petunjuknya cuma satu itu. Sumpah prajurit di antara mereka di Gua Sampur, tentang pertemuan rahasia mereka, atau gimana mereka mengoordinasikan pemberontakan itu, gak diceritain di bagian lainnya.
Selanjutnya, awal mula konflik di Perburuan ini adalah akibat pengkhianatan sahabat Hardo, Shodancho Karmin, yang bikin mereka akhirnya terpaksa ngejalanin hidup dalam Perburuan. Ini diungkap secara implisit dalam monolog Hardo di bawah :
Karmin! Shodanco Karmin! Aku tak menyangka, engkau sampai hati berbuat begitu.
Karmin!Sekarang dia lenyap. Lenyap sebagai engkau sendiri dalam pengkhianatanmu.
Monolog Hardo – hal. 6
Lebih lengkapnya lagi, cerita pengkhianatan itu ada di bab 3, dalam adegan bertemunya kembali Hardo dan Dipo, salah satu rekan seperjuangannya waktu pemberontakan. Aku pikir, ini ditonjolkan karena akan ada hubungannya dengan konflik cerita. Ya, spoiler, nih, si Karmin bakal muncul lagi dalam porsi besar sebagai pengkhianat bangsa.
Konflik sendiri makin dipertajam dengan Hardo yang mengenang-ngenang Ningsih, tunangannya, dan karenanya, dia balik ke Blora, bahkan muncul di rumah Ningsih, walaupun Hardo tahu bapaknya salah satu orang yang udah pernah mengkhianati dia. Bisa dilihat dari dialog mereka di bawah :
Dan sekarang …, kata kere itu lesu, … bapak mau menangkap aku lagi?
Menangkap? seru orang itu dengan suara tinggi. Disambar geledeklah bapak ini bila ada maksud menangkap anak.
Janganlah bersumpah. Aku sendiri melihat betapa dulu bapak memburu-buru aku di pegunungan cadas Plantungan.
Dialog antara Hardo dengan Lurah Kaliwangan – hal.12-13
Konflik ini lebih dipertajam dengan cerita Dipo waktu mereka ketemu di bab 3 (diselingi ejekan-ejekannya yang sadis hehe):
Yang berbahaya hanya sentimenmu sendiri dan semua serdadumu yang tak tahan hidup sebagai ini.
Dialog antara Hardo dengan Dipo – Hal. 91
Dari percakapan wedana Karangjati itu tahulah aku … yang membuat segala pengkhianatan ini tidak lain bakal mertuamu sendiri … Lurah Kaliwangan! Tiba-tiba ia diam dan bersungguh-sungguh serta memperhatikan kawannya dengan pandang ketua-tuaan. Dan Hardo mengecilkan badannya seperti kena kejang. Jadi … aku harap, Hardo … buanglah sentimenmu itu, katanya pelan mengandung irama mengasihani.
Dipo dalam Dialog antara Hardo dengan Dipo – hal, 92
Lebih lengkapnya, cerita Dipo ini mendukung masalah Hardo yang ketahuan Nippon saat bersembunyi di gubug di tengah Ladang Jagung di bab 2, yang juga menggambarkan pertemuan Hardo dengan bapaknya, setelah Hardo terjebak di tengah perburuan Nippon. Di sini, Hardo hampir aja ketangkep sama prajurit Nippon (yang sebenernya banyak dari orang-orang pribumi juga, sih).
Waktu adegan dialog antara Hardo dengan Dipo ini, mereka bertemu juga dengan rekan mereka yang lain, Kartiman, yang mengabarkan bahwa Jepang telah menyerah terhadap Sekutu.
Kakakku, dia … kakakku yang kerja di kantor pos sebagai opas pos … Tinjunya terurai dan diturunkan sampai ke tanah. Meneruskan, katanya, Jadi tak salah tempat pertemuan yang kau tunjukkan dulu. Kemudian ia berbisik. Adikku, … mulai saat ini lepaslah engkau dari penderitaan yang diterbitkan oleh pendirianmu itu. Jepang sudah menyerah! Aku tak bisa berkata apa-apa …
Kartiman, dalam Dialog Hardo, Dipo, dan Kartiman – hal.108
Wah, pas ngetik ini aku nemu lagi petunjuk kisah tentang koordinasi aksi pemberontakan PETA. “Jadi tak salah tempat pertemuan yang kau tunjukkan dulu,” ini kayaknya petunjuk soal itu juga.
Soal Jepang nyerah ini sebenernya kan, premisnya ngarah ke kemerdekaan Indonesia, yang keliatannya gak ngaruh banyak ke pengembangan konflik cerita Hardo sendiri. Tapi, buatku, kondisi ini justru yang bikin Nippon makin gencar buat nangkep aktor pemberontakan PETA dengan tujuan biar mereka tetep keliatan kuat di mata rakyat pribumi.
Sekedar catetan, walaupun novel ini bercerita tentang Hardo yang pengen Indonesia merdeka, pengembangan konfliknya justru bukan terpusat di kisah kemerdekaan itu. Lebih kepada konflik lahir dan batin Hardo sendiri, saat menghadapi perasaannya terhadap Ningsih, konfliknya dengan bapaknya, yang berseberangan pikir dengannya, dan perasaannya terhadap Karmin, sahabat sejak kecilnya yang mengkhianati dia dan rekan-rekannya.
Ok, lanjut. Soal Nippon yang makin semangat nangkep Hardo ini diungkap secara tersirat oleh Sidokan Dono, waktu terdengar kabar Heiho dan PETA dibubarkan di bab 4 :
Kita cari Raden Hardo sampai tertangkap. Ia memandang Ningsih. Dan gadis itu menjadi pucat. Kalau sudah, baru kita pulang ke Daidan. Pengkhianatan harus menjalani hukumannya dulu.
Sidokan Dono dalam dialog antara Sidokan Dono dan Karmin – hal. 152
Di bab 4 ini barulah klimaks, dimana akhirnya Hardo, Dipo, dan Kartiman tertangkap. Entah kenapa, aku mikir ini kayak disengaja. Ketiganya, atau mungkin secara khusus Hardo, ngebiarin dirinya ditangkap. Kenapa? Aku gak tahu, mungkin menunjukkan kalo Indonesia udah menang, dan dia ingin menyaksikan sendiri kemenangan itu.
Kesimpulan ini aku dapet dari adegan dimana Sidokan Dono mengancam Hardo :
Hardo tersenyum dan menjatuhkan kedua tangannya. Sebentar matanya menyelidik melalui samping Jepang itu pada Karmin yang ada di belakangnya. Hampir tak nyata ia menggeleng. Dan Karmin menunduk memandang lantai. Kemudian mata Hardo itu terus menyelidik ke dalam rumah dan nampak olehnya Ningsih berpelukan dengan bapaknya. Pandangnya dilemparkan pada komisaris polisi. Dan ia tersenyum lagi.
Hardo dalam adegan tertangkapnya Dipo, Hardo, Kartiman – hal.155
Apa maksudnya itu, Hardo? Apaaa??! #lebay
Di sinilah letak kelebihan Perburuan buatku. Petunjuk-petunjuknya yang implisit dan halus justru membuat kisahnya menarik dan misterius.
Aku akui dengan gaya penceritaan ini, kisah ini bisa membingungkan banget. Dan membosankan banget, buat orang yang suka dengan konflik-konflik terbuka dan tajam. Apalagi, bisa dibilang hampir semua bagian novel ini terdiri dari narasi dan dialog.
Namun, buatku, ini spesial dengan gayanya sendiri. Apalagi, di novel ini, Pram berhasil memainkan emosi kita dengan naik-turunnya ketegangan di satu adegan aja. Contohnya, pas adegan Nippon mengepung ladang jagung.
Diceritakan Nippon memeriksa gubug, dan ketegangan ditingkatkan waktu mereka ngeliat lubang di dindingnya, bekas Hardo menerobos keluar. Lalu, diturunkan dengan pernyataan bapaknya Hardo tentang mimpinya, trus dia santai makan jagung.
Lalu, waktu perhatian Nippon udah teralih, ketegangan ditingkatkan lagi dengan pemeriksaan mereka dengan jejak kaki Hardo yang mengarah ke sungai. Lalu, diturunkan lagi dengan bapaknya Hardo yang menawarkan jagung kepada tentara itu, yang akhirnya mereka makan bareng. Lucu juga, di adegan ini, haha.
Waktu kupikir udah selesai, eh, ternyata bapaknya Hardo diperiksa lagi, bahkan ditinju dua kali sama tentara Nippon dalam usahanya membuat bapaknya Hardo bicara.
Ketegangan yang dinaikturunkan dalam satu adegan ini bikin aku teringat sama Anna Karenina oleh Leo Tolstoy. Leo Tolstoy adalah penulis yang hobi banget mainin emosi kita dalam satu adegan kayak gini. Aku mikir, karena Leo Tolstoy salah satu penulis yang disukain Pram, mungkin rada kepengaruh sama dia? Menurutku, sih, ini.
Kalo aku jabarin semua ceritanya gak seru banget, ya. Yang paling oke, itu anti-klimaks sekaligus penutup. Ditampilkan secara indah, dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Seperti proklamasi hehe…
Hardo menarik napas panjang.
Dengan penutup itu pula, resensi ini aku selesaikan.
TAMAT