Category Archives: Non-fiction

Reality can’t be that hard

Manusia yang Wajib Terus Berkembang

Ketika menulis tentang salah satu tulisan terbaruku yang berjudul “Saya Tidak Tahu”, tiba-tiba terpikir olehku salah satu perubahan yang tidak terelakkan dan sangat menyesakkan buatku secara pribadi. Yaitu, perubahan dalam dunia tulis-menulis. Aku menghindari kata ‘sastra’ di sini oleh banyaknya kesalahpahaman soal penggunaan kata ‘sastra’ yang mengakibatkan ‘perang sastra’ yang tidak ada habis-habisnya.

Kenapa perubahan ini menyesakkan?

Aku penulis yang lambat. Sedari dulu, aku selalu menyukai karya-karya klasik dan karya-karya ini selalu menggunakan alur lambat dengan narasi yang sangat deskriptif dan mendetail. Aku menyukainya karena cara penulisan itu benar-benar bisa membuatku masuk ke dalam dunia tokohnya, merasakan dan mengikuti petualangan bersamanya sepanjang membaca itu.

Kesukaanku pada karya klasik sangat mempengaruhi gaya penulisanku. Akibatnya, aku juga menggunakan metode menulis yang serba deskriptif. Akibatnya, kecepatan menulis menjadi lambat akibat pengolahan imajinasi yang harus disampaikan lewat kata-kata, belum lagi ketidaktahuan membuat aku harus meriset sana-sini.

Sayangnya, era internet sudah banyak mempengaruhi gaya membaca, dan pada akhirnya, mempengaruhi gaya menulis. Hal ini tidak lain disebabkan oleh perubahan perilaku yang terutama terjadi akibat arus informasi yang cepat, yaitu perilaku menunggu.

Perilaku yang satu ini membutuhkan kesabaran, di mana ada periode-periode ‘kosong’ pada aktivitas manusia. Sedangkan, aktivitas internet yang serba cepat membabat habis kekosongan dan mengakibatkan kebosanan datang lebih cepat dan menjadi semakin tidak tertahankan. Aku pun merasakan hal ini.

Hal ini turut mengakibatkan perubahan perilaku pada pembaca. Mereka membutuhkan lebih banyak bacaan dan semakin cepat dalam membaca. Akibatnya, permintaan membaca semakin tinggi dan penulis pun dituntut untuk menghasilkan produk-produk dengan kecepatan luar biasa. Buatku yang terbiasa mengolah kata-kata dengan cara-cara yang kusukai, berusaha menampilkan imajinasi di kepala setepat-tepatnya kepada pembaca –dengan sendirinya alur ceritaku jadi panjang– tergagap-gagap mengikuti perubahan begini.

Sampai sekarang, aku belum paham bagaimana harus beradaptasi dengan kondisi seperti ini. Harus ada hal-hal yang kukorbankan demi mengikuti arus zaman, dan pertanyaannya, apa aku siap?

Depok, 09 Juni 2022

Saya Tidak Tahu!

Di Buku Sapiens, yang mengisahkan sejarah tentang umat manusia, aku temukan bahwa dasar sains modern adalah kata Latin ‘Ignoramus’ yang artinya “saya tidak tahu”. Kebalikan dengan orang-orang yang menganggap sains itu maha tahu, ilmuan sendiri mendasarkan pada frasa ini.

Alasannya? Karena dengan ketidaktahuan, maka pertanyaan selalu timbul dan bahkan terus berkembang menjadi lebih kompleks. Pertanyaan-pertanyaan ini menerbitkan keingintahuan yang akhirnya mengarah pada pencarian-pencarian yang terus-menerus.

Artinya, dasar ini justru menjadi hal yang paling penting. Kalau tidak, dunia sains akan mati perlahan karena manusia menganggap semua teori adalah benar dan tidak lagi perlu dipertimbangkan dan dipertanyakan.

Menurutku sendiri, tidak hanya dunia sains yang membutuhkan hal ini, tetapi dunia manusia pada umumnya, bahkan keyakinan akan kehidupan sehari-hari. Aku sudah hidup di dua zaman yang berbeda, yaitu zaman di mana komputer belum ada dan zaman di mana segala hal dilakukan lewat komputer, bahkan lewat internet yang serba terhubung ke mana pun.

Hal ini benar-benar menunjukkan satu hal buatku yang sangat tertarik pada pengetahuan akan manusia, yaitu perubahan sosial yang mengikutinya. Teori-teori sosial yang sedari dulu dipertahankan mulai tampak luntur dan tidak lagi bisa diaplikasikan kepada masyarakat. Berkali-kali aku menemukan diriku melontarkan opini yang ketinggalan zaman dan akibatnya, tampak salah. Kalau mau bela diri, teori itu mungkin benar pada zaman dahulu sebelum perubahan sosial akibat era internet terjadi.

Pada akhirnya, aku pun harus mengadaptasi dasar dari dunia sains ini. Ya, aku tidak tahu apa pun. Semua bergerak sehingga teori-teori yang kutahu akan selalu luntur dan aku kembali dihadapkan pada situasi bahwa aku tidak tahu apa pun.

Namun, aku menyukai frasa ini karena ketidaktahuan akan kembali menimbulkan pertanyaan pada benakku dan akan membuatku kembali mencari tahu. Aktivitas ini akan selalu menyenangkan dan memberikan bahan bakar untuk memotivasiku untuk terus hidup. Pada selanjutnya, aktivitas ini justru akan membuatku terdistraksi akan kebutuhan-kebutuhan yang membutuhkan uang. Jadi, aku pun tidak terlalu menghabiskan energi untuk mencari uang banyak. Hehe!

Depok, 02 Juni 2022

Membaca Lagi, Terinspirasi Lagi!

Sumber: Unsplash oleh Arif Riyanto dan Brittney Weng

Sudah beberapa lama sejak terakhir aku membaca buku dengan fokus. Sebelumnya, aku memang terus mencoba menyempatkan waktu untuk membaca, tapi selalu ada hal-hal yang mengganggu konsentrasi, sehingga buku yang sedang terbaca akhirnya terlupakan.

Dan ingatanku pun bukan tergolong ingatan yang baik, sehingga sebagian isinya juga terlupakan. Biasanya, aku terpaksa mengulang-ngulang lagi apa yang sebelumnya sudah kubaca. Sangat tidak efisien.

Beberapa minggu yang lalu, entah kenapa, suasana hati tidak jelas, rasanya jenuh bukan main. Kalau suasana hati buruk atau dilanda emosi, lebih mudah untuk mengatasinya, bersenang-senang sedikit atau menyelesaikan masalah yang membuat emosi buruk akan melenyapkannya. Tapi, bagaimana kalau yang justru suasana hati hanya datar, segala serba tidak menarik?

Apa pun, bahkan hobi yang paling disenangi pun tampak tidak menggiurkan untuk dilakukan.

Pada saat inilah, tiba-tiba terpikirkan ide brilian. Aku selalu melihat adegan-adegan di film atau iklan atau sejenisnya tentang seseorang yang menghabiskan waktu dengan membaca sendirian di kafe. Dan, tiba-tiba saja juga, aku ingin melakukannya.

Aku bukan tipe yang hobi pergi ke restoran atau kafe sendirian. Kenapa? Aku kurang tahu, rasanya ganjil dan seakan aku jadi bahan tontonan. Mungkin karena tidak terbiasa pula.

Baru dalam pikiran, suasana hatiku langsung jadi cerah seketika. Inilah yang terjadi kalau kau biasa berfantasi. Hehe. Begitu aku memasuki Gramedia, yang sudah lama tidak kudatangi, perasaan nostalgia langsung membuncah. Pasalnya, sewaktu kuliah, hampir setiap hari aku mengunjungi Gramedia yang sangat dekat dengan kampus.

Tidak perlu membeli buku, menghirup aromanya pun sudah sangat menyenangkan.

Aku bahkan tidak tahu buku apa yang mau kubeli. Hanya berpikir, apa pun yang menarik, akan langsung kusambar. Sampailah pada rak bagian sejarah, atau mungkin yang lain. Sudah kubilang, kan, ingatanku jelek. Hehe.

Saat kulihat, aku tertarik pada tiga buku sekaligus. Pertama, buku tentang Pramoedya Ananta Toer yang ditulis oleh Eka Kurniawan, salah dua pengarang favoritku, Kedua, buku yang berjudul ‘Noise’ yang kurang-lebih menceritakan tentang kesalahan-kesalahan pada logika manusia, yang benar-benar membuatku penasaran, dan, ketiga, Sapiens: Sejarah Singkat Riwayat Manusia, buku yang dari dulu tenar dan digadang-gadangkan banyak orang.

Singkatnya, aku memilih Sapiens, untuk melihat apa benar buku itu semenarik yang diceritakan orang-orang? Jawabannya, setelah aku membaca separuh dari buku itu, ya. Memang gaya bercerita Prof. Yuval Noah Harari ini sangat menarik.

Belum lagi, Yuval Noah Harari suka melontarkan frasa-frasa yang menurutku lucu. Salah satu yang kuingat adalah ‘Romeo Neandertal dan Juliet Sapiens’ ketika menggambarkan hubungan DNA antar keduanya. Nantilah, aku akan bahas lagi resensi soal buku ini.

Yang pasti, ternyata membaca buku mencerahkan lagi suasana hati dan kegairahan yang sempat hilang. Mungkin, mencicipi wawasan baru yang menjentik ide-ide dan pikiran-pikiran baru adalah hal yang kuperlukan pada hidup yang menjemukan ini.

Bahkan, aku terinspirasi untuk menulis lagi di blog dan menghidupkan lagi aktivitas medsos. Bravo, buku dan penyampaian informasi mendalam yang mereka bawa buat kita!

Resensi Novel Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer (Bagian Ketiga)

PLOT

WARNING! BANYAK BANGET SPOILER!

Nah, ini yang kemaren hampir ketuker sama alur haha. Selama ini aku suka nyantai aja soal ngomongin alur sama plot ini, kupikir cuma beda istilah. Eh, taunya beda jauh. Sentilan banget buatku, nih!

Alur itu singkatnya arahan waktu ceritanya, apa menuju masa depan, apa balik ke masa lalu, dkk. Sedangkan, kalo plot lebih ke pembangunan kronologis dan logika cerita, kayak kenapa dia begini? Apa alasannya? Masuk akal gak, kalo diliat dari konteks sebab-akibatnya?

Unsur-unsur dalam plot ini biasanya pendahuluan ato prolog, konflik, klimaks, anti-klimaks, penutup ato epilog.

Di Resensi Novel Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer (Bagian Kedua), tentang alur cerita, aku udah jabarin kalo novel ini pake alur maju. Flashback diceritain kebanyakan lewat dialog-dialog. Sedikit lewat narasi.

Yang unik dari novel Pram kali ini, sekalipun, seperti biasa, tulisannya padat akan konflik, tapi adegannya sedikit banget. Ada adegan pendahuluan, yaitu khitannya adik Ningsih, trus dialog antara Hardo dengan calon bapak mertuanya, adegan antara Hardo dengan bapaknya sendiri, Hardo dengan rekan-rekan seperjuangannya.

Keluar dari sudut pandang Hardo, baru dimunculkan adegan antara pengkhianat Karmin dengan Nippon, lalu Karmin dengan Ningsih. Mendekati penutup, barulah semua pihak bertemu dalam satu adegan klimaks.

Totalnya ada berapa, tuh? Tujuh. Untuk novel, jumlah ini keliatan simpel banget, kan?

Sekarang, mari beralih ke plot. Plotnya sendiri adalah kisah perjuangan tentara PETA dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari perencanaan hingga pemberontakannya. Sampai kepada kegagalan mereka, yang berujung pada kisah para pemberontaknya diburu oleh tentara Nippon.

Kisah ini sendiri sebenernya jadi pendahuluan dari kisah kemerdekaan Indonesia. Dan kisah ini adalah simbol dari perjuangan orang Indonesia ke arah itu.

Novel ini dibangun dalam 4 bab, yang isinya tujuh adegan yang udah aku ceritakan di atas. Aku bagi-bagi lagi adegannya ini, ya.

Bab pertama, kisah pertemuan Hardo dengan Lurah Kaliwangan, sekaligus Bapak dari tunangan Hardo, Ningsih. Pada bab pertama ini, diceritakan tentang awal mula konflik Perburuan lewat dialog-monolog Lurah Kaliwangan.

Plotnya ini dibangunnya secara acak, dan gak berurutan. Makanya, perlu konsentrasi juga buat ngubung-ngubungin antara satu cerita dan cerita lainnya.

Plot awalnya sebenernya dari Hardo sebagai anggota PETA, yang pangkatnya udah jadi shodancho (komandan pleton). Digambarkan dalam pernyataan Lurah Kaliwangan di bawah ini :

Mengapakah anak jadi berubah sekarang? Kesenangannya yang dulu-dulu hilang. Berubah sama sekali sudah. Pakaian hijau dengan setrip dan pedang, selalu di samping opsir Nippon, turun naik mobil … lenyap semua sekarang.

Dialog antara Hardo dengan Lurah Kaliwangan – hal. 21

Lanjut ke kisah pemberontakan mereka, yang diceritakan dengan cara yang bener-bener halus, lewat pernyataan Dipo di bawah ini :

Engkau boleh melemparkan sumpahmu sebagai prajurit terhadap Nippon! tetapi sumpahmu sebagai prajurit di antara kita di gua Sampur tak boleh kau abaikan!

Dialog Hardo dan Dipo – hal. 90

Yang bagian ini, bisa dibilang aku lebih banyak nebak, karena petunjuknya cuma satu itu. Sumpah prajurit di antara mereka di Gua Sampur, tentang pertemuan rahasia mereka, atau gimana mereka mengoordinasikan pemberontakan itu, gak diceritain di bagian lainnya.

Selanjutnya, awal mula konflik di Perburuan ini adalah akibat pengkhianatan sahabat Hardo, Shodancho Karmin, yang bikin mereka akhirnya terpaksa ngejalanin hidup dalam Perburuan. Ini diungkap secara implisit dalam monolog Hardo di bawah :

Karmin! Shodanco Karmin! Aku tak menyangka, engkau sampai hati berbuat begitu.

Karmin!Sekarang dia lenyap. Lenyap sebagai engkau sendiri dalam pengkhianatanmu.

Monolog Hardo – hal. 6

Lebih lengkapnya lagi, cerita pengkhianatan itu ada di bab 3, dalam adegan bertemunya kembali Hardo dan Dipo, salah satu rekan seperjuangannya waktu pemberontakan. Aku pikir, ini ditonjolkan karena akan ada hubungannya dengan konflik cerita. Ya, spoiler, nih, si Karmin bakal muncul lagi dalam porsi besar sebagai pengkhianat bangsa.

Konflik sendiri makin dipertajam dengan Hardo yang mengenang-ngenang Ningsih, tunangannya, dan karenanya, dia balik ke Blora, bahkan muncul di rumah Ningsih, walaupun Hardo tahu bapaknya salah satu orang yang udah pernah mengkhianati dia. Bisa dilihat dari dialog mereka di bawah :

Dan sekarang …, kata kere itu lesu, … bapak mau menangkap aku lagi?

Menangkap? seru orang itu dengan suara tinggi. Disambar geledeklah bapak ini bila ada maksud menangkap anak.

Janganlah bersumpah. Aku sendiri melihat betapa dulu bapak memburu-buru aku di pegunungan cadas Plantungan.

Dialog antara Hardo dengan Lurah Kaliwangan – hal.12-13

Konflik ini lebih dipertajam dengan cerita Dipo waktu mereka ketemu di bab 3 (diselingi ejekan-ejekannya yang sadis hehe):

Yang berbahaya hanya sentimenmu sendiri dan semua serdadumu yang tak tahan hidup sebagai ini.

Dialog antara Hardo dengan Dipo – Hal. 91

Dari percakapan wedana Karangjati itu tahulah aku … yang membuat segala pengkhianatan ini tidak lain bakal mertuamu sendiri … Lurah Kaliwangan! Tiba-tiba ia diam dan bersungguh-sungguh serta memperhatikan kawannya dengan pandang ketua-tuaan. Dan Hardo mengecilkan badannya seperti kena kejang. Jadi … aku harap, Hardo … buanglah sentimenmu itu, katanya pelan mengandung irama mengasihani.

Dipo dalam Dialog antara Hardo dengan Dipo – hal, 92

Lebih lengkapnya, cerita Dipo ini mendukung masalah Hardo yang ketahuan Nippon saat bersembunyi di gubug di tengah Ladang Jagung di bab 2, yang juga menggambarkan pertemuan Hardo dengan bapaknya, setelah Hardo terjebak di tengah perburuan Nippon. Di sini, Hardo hampir aja ketangkep sama prajurit Nippon (yang sebenernya banyak dari orang-orang pribumi juga, sih).

Waktu adegan dialog antara Hardo dengan Dipo ini, mereka bertemu juga dengan rekan mereka yang lain, Kartiman, yang mengabarkan bahwa Jepang telah menyerah terhadap Sekutu.

Kakakku, dia … kakakku yang kerja di kantor pos sebagai opas pos … Tinjunya terurai dan diturunkan sampai ke tanah. Meneruskan, katanya, Jadi tak salah tempat pertemuan yang kau tunjukkan dulu. Kemudian ia berbisik. Adikku, … mulai saat ini lepaslah engkau dari penderitaan yang diterbitkan oleh pendirianmu itu. Jepang sudah menyerah! Aku tak bisa berkata apa-apa …

Kartiman, dalam Dialog Hardo, Dipo, dan Kartiman – hal.108

Wah, pas ngetik ini aku nemu lagi petunjuk kisah tentang koordinasi aksi pemberontakan PETA. “Jadi tak salah tempat pertemuan yang kau tunjukkan dulu,” ini kayaknya petunjuk soal itu juga.

Soal Jepang nyerah ini sebenernya kan, premisnya ngarah ke kemerdekaan Indonesia, yang keliatannya gak ngaruh banyak ke pengembangan konflik cerita Hardo sendiri. Tapi, buatku, kondisi ini justru yang bikin Nippon makin gencar buat nangkep aktor pemberontakan PETA dengan tujuan biar mereka tetep keliatan kuat di mata rakyat pribumi.

Sekedar catetan, walaupun novel ini bercerita tentang Hardo yang pengen Indonesia merdeka, pengembangan konfliknya justru bukan terpusat di kisah kemerdekaan itu. Lebih kepada konflik lahir dan batin Hardo sendiri, saat menghadapi perasaannya terhadap Ningsih, konfliknya dengan bapaknya, yang berseberangan pikir dengannya, dan perasaannya terhadap Karmin, sahabat sejak kecilnya yang mengkhianati dia dan rekan-rekannya.

Ok, lanjut. Soal Nippon yang makin semangat nangkep Hardo ini diungkap secara tersirat oleh Sidokan Dono, waktu terdengar kabar Heiho dan PETA dibubarkan di bab 4 :

Kita cari Raden Hardo sampai tertangkap. Ia memandang Ningsih. Dan gadis itu menjadi pucat. Kalau sudah, baru kita pulang ke Daidan. Pengkhianatan harus menjalani hukumannya dulu.

Sidokan Dono dalam dialog antara Sidokan Dono dan Karmin – hal. 152

Di bab 4 ini barulah klimaks, dimana akhirnya Hardo, Dipo, dan Kartiman tertangkap. Entah kenapa, aku mikir ini kayak disengaja. Ketiganya, atau mungkin secara khusus Hardo, ngebiarin dirinya ditangkap. Kenapa? Aku gak tahu, mungkin menunjukkan kalo Indonesia udah menang, dan dia ingin menyaksikan sendiri kemenangan itu.

Kesimpulan ini aku dapet dari adegan dimana Sidokan Dono mengancam Hardo :

Hardo tersenyum dan menjatuhkan kedua tangannya. Sebentar matanya menyelidik melalui samping Jepang itu pada Karmin yang ada di belakangnya. Hampir tak nyata ia menggeleng. Dan Karmin menunduk memandang lantai. Kemudian mata Hardo itu terus menyelidik ke dalam rumah dan nampak olehnya Ningsih berpelukan dengan bapaknya. Pandangnya dilemparkan pada komisaris polisi. Dan ia tersenyum lagi.

Hardo dalam adegan tertangkapnya Dipo, Hardo, Kartiman – hal.155

Apa maksudnya itu, Hardo? Apaaa??! #lebay

Di sinilah letak kelebihan Perburuan buatku. Petunjuk-petunjuknya yang implisit dan halus justru membuat kisahnya menarik dan misterius.

Aku akui dengan gaya penceritaan ini, kisah ini bisa membingungkan banget. Dan membosankan banget, buat orang yang suka dengan konflik-konflik terbuka dan tajam. Apalagi, bisa dibilang hampir semua bagian novel ini terdiri dari narasi dan dialog.

Namun, buatku, ini spesial dengan gayanya sendiri. Apalagi, di novel ini, Pram berhasil memainkan emosi kita dengan naik-turunnya ketegangan di satu adegan aja. Contohnya, pas adegan Nippon mengepung ladang jagung.

Diceritakan Nippon memeriksa gubug, dan ketegangan ditingkatkan waktu mereka ngeliat lubang di dindingnya, bekas Hardo menerobos keluar. Lalu, diturunkan dengan pernyataan bapaknya Hardo tentang mimpinya, trus dia santai makan jagung.

Lalu, waktu perhatian Nippon udah teralih, ketegangan ditingkatkan lagi dengan pemeriksaan mereka dengan jejak kaki Hardo yang mengarah ke sungai. Lalu, diturunkan lagi dengan bapaknya Hardo yang menawarkan jagung kepada tentara itu, yang akhirnya mereka makan bareng. Lucu juga, di adegan ini, haha.

Waktu kupikir udah selesai, eh, ternyata bapaknya Hardo diperiksa lagi, bahkan ditinju dua kali sama tentara Nippon dalam usahanya membuat bapaknya Hardo bicara.

Ketegangan yang dinaikturunkan dalam satu adegan ini bikin aku teringat sama Anna Karenina oleh Leo Tolstoy. Leo Tolstoy adalah penulis yang hobi banget mainin emosi kita dalam satu adegan kayak gini. Aku mikir, karena Leo Tolstoy salah satu penulis yang disukain Pram, mungkin rada kepengaruh sama dia? Menurutku, sih, ini.

Kalo aku jabarin semua ceritanya gak seru banget, ya. Yang paling oke, itu anti-klimaks sekaligus penutup. Ditampilkan secara indah, dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Seperti proklamasi hehe…

Hardo menarik napas panjang.

Dengan penutup itu pula, resensi ini aku selesaikan.

TAMAT

Resensi Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer (Bagian Kedua)

ALUR CERITA

WARNING! ADA SPOILERNYA, DIKIT!

Aspek kedua yang pengen kubahas dalam novel Perburuan ini adalah alur cerita. Hampir aja ketuker sama plot haha. Alur cerita ini biasanya dipake buat memperindah cerita. Menurutku, sih. Haha.

Alur terdiri dari alur maju, mundur, dan perpaduan keduanya.

Alur cerita apa, sih, yang paling disukai pembaca? Setauku, sih, sejauh ini perpaduan antara alur maju dan mundur. Alur maju doang bisa ngebosenin, sedangkan alur mundur doang susah banget bikinnya (aku pernah nyoba, terinspirasi dari film Memento oleh Christoper Nolan).

Sementara aku berpendapat alur maju itu biasanya ngebosenin, ternyata, novel Perburuan ini justru mengambil tipe alur maju. Dan itu bener-bener alur maju doang, bahkan gak ada adegan-adegan flashback yang biasanya dipake untuk memperkaya cerita.

Ngebosenin, dong? Nggak sama sekali! 😍

Ini bisa jadi inspirasi juga buat novelis zaman sekarang, gak semua latar belakang cerita harus digambarin dalam satu adegan.

Kita bisa pake cara Pram dalam novel Perburuan ini, karena menurutku malah jadi enak banget, jadi gak terlalu padat konflik, dimana semua masalah harus ada narasi sendiri, bahkan dialognya sendiri. Ini kadang bikin capek.

Gimana caranya?

Cara Pram adalah menyelipkan cerita di tengah-tengah dialog dan narasi. Dan caranya halus, tanpa menuh-menuhin dialog dan narasinya, jadi aku sendiri kagum dengan ini. Artinya, Pram sudah jelas nentuin prioritas ceritanya.

Ini salah satu contohnya :

Den Hardo … engkau tak tahu betapa berat rasa hatiku menjalankan perintah Nippon. Dan engkau sendiri pun tahu betul, aku lurah yang diangkat Nippon. Bersama rakyatku aku diangkut dengan mobil ke sana dan diperintahkan menangkap orang yang berciri panjang pada tangan kanannya. Dan oleh karena itu aku dimaki-maki adikmu Ningsih. Katanya, jadi untuk mempertahankan pangkat lurah itu bapak mau turut serta memburu Mas Hardo?

Dialog Hardo dan Lurah Kaliwangan – Hal. 13

Aku bingung nentuin kutipan di atas monolog apa dialog, karena terjadi juga percakapan antara Hardo dan Lurah Kaliwangan, walopun Hardonya bicara dikit-dikit. Lebih mirip monolog jadinya.

Nah, dari kata-kata Lurah Kaliwangan itu, yang sekaligus calon mertua Hardo, jelas kalo dia pernah memburu Hardo. Juga, hal itu menimbulkan konflik sama anaknya sendiri, Ningsih, yang jadi tunangan Hardo.

Contoh lain, nih..

Tahu engkau, Hardo? sambung Dipo mengajar. Cirimu itu adalah hakim dan algojomu sendiri. Memang bayonet Jepang itu mau mencelakakan engkau selama-lamanya. Dan cacatmu itu adalah hadiah satu-satunya yang dikaruniakan oleh Hindia belanda sebagai tanda jasamu?

Dialog Hardo dan Dipo – hal.88

Kalo di atas, malah lebih halus lagi penggambarannya. Ternyata, ciri Hardo berupa bekas luka panjang di tangan kanannya itu justru didapat dari Hindia Belanda, bukan pas zaman Jepang. Udah gitu aja, petunjuknya cuma ini.

Yang menyenangkan dari petunjuk sedikit ini, kita bisa berimajinasi seluas-luasnya tentang Hardo di zaman pendudukan Belanda. Mungkin ia adalah salah satu pemberontak yang menentang Belanda, dan mungkin tidak hanya Nippon, Kumpeni juga sempat mengejar-ngejarnya. Duh, jadi ngayal, deh! (CATATAN : INI MURNI KHAYALAN PENULIS, TIDAK ADA SATUPUN PETUNJUK YANG MENGARAH KE KISAH INI)

Ada lagi :

Dan sidokan berdiam diri terbakar oleh kemarahannya sendiri. Rupa-rupanya sangat benci dia padamu, Hardo! Pastilah karena dulu dia kau tantang main kendo, dan dia kau kalahkan dengan gampang.

Dialog Dipo dan Hardo – hal.93

Latar belakang yang bikin Hardo makin diburu-buru juga diceritakan dengan sekilas aja. Dan adegan ini dipilih oleh Richard Oh buat ditampilin di film. Artinya, Richard Oh emang beneran baca novel ini dengan seksama dan mempertimbangkan kemunculannya dengan seksama. Karena emang latar belakang ini bisa menampilkan permusuhan “diam-diam” Nippon sama pribumi.

Nah, alur-alur mundur ini diceritakan banyak dengan sekilas-sekilas begini. Memang, ada juga yang masuk dalam percakapan dan monolog yang panjang, tergantung seberapa tingkat kepentingan latar belakang itu buat ceritanya, aku pikir.

Seperti yang kubilang dalam Resensi Novel Perburuan Bagian Pertama, novel ini miskin adegan. Inilah tantangan besar buat Richard Oh. Kalau tantangan Hanung adalah memilah-milah cerita yang padat adegan di Bumi Manusia tanpa mengurangi makna kisah itu sendiri, tantangan Richard Oh adalah menciptakan adegan yang bisa setara dengan adegan yang disajikan oleh Pram.

Apakah Richard Oh berhasil? Nanti aku ulas sendiri filmnya.

Oke, lanjut ke resensi bagian ketiga… Panjang, ya. Buat yang mau mampir ke sini, sabar-sabar aja nunggu lanjutannya. Aku, sih, sebisa mungkin nulis langsung sampe selesai (walaupun berjilid-jilid kayak demo 212), biar emosi dan kesan yang kudapet dari novel ini tetep segar, dengan begitu nulis resensinya juga jadi lebih menghayati.

Sampe ketemu di resensi berikutnya! Jangan lupa, sampaikan opini kalian di kolom komentar, ya!

Resensi Novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer (Bagian Pertama)

Narasi dan Dialog

Sejujurnya…

Novel ini aku beli justru setelah filmnya diberitakan akan ditayangin tanggal 15 Agustus 2019.

Sekarang, sih, semua udah pasti tahu soal film yang disutradarai oleh Richard Oh dan diproduksi oleh Falcon Pictures ini. Apalagi, karena film ini dibarengin sama Bumi Manusia yang disutradarai Hanung Bramantyo.

Aku sendiri udah sering denger soal novel Perburuan, tapi entah kenapa aku ngerasa ini buku udah langka. Dan ngerasa bakal susah dicari (bahkan sebelum aku nyari, mentalku masih rendahan banget).

Ternyata…

Bener juga, sih, ini udah jadi buku langka. Novel aslinya harganya Rp650.000! Karena aku gak sanggup, terpaksa beli yang bajakan 😭

Masih belom paham, kenapa buku-buku langka gak direpro sama penerbit mayor. Mungkin kalo para penggemar Pram maju bareng-bareng, bakal ada yang mau nerbitin lagi?

Pas pertama baca novelnya, aku masih biasa aja. Adegannya masih terasa biasa buatku. Sampe aku membolak-balik halaman dan aku jadi senyum-senyum sendiri; wah, tantangan besar buat Richard Oh!

Aku mikir gini karena dari awal sampe akhir buku adalah tentang Hardo (tokoh utama pria) yang hidup di pengasingan jadi kere (sebutan Pram di novelnya untuk pengemis).

Rata-rata latar cerita, yang jadi pendahuluan kenapa Hardo jadi buruan Jepang, itu diceritakan sekilas-kilas dengan halus banget dalam tiap adegan. Jadi, Richard Oh harus pinter-pinter nyiptain adegan yang cocok dengan nuansa kisah ini.

Karena, gak mungkin dari awal sampe akhir filmnya cuma menyajikan narasi dari sudut pandang Hardo aja. Mungkin aja, sih, tapi aku yakin sulit diterima oleh penikmat sineas. Kalo mau diangkat di teater beda soal, ya.

Jadi, balik ke novel Perburuan. Seperti biasa, aku mau bikin review poin per poin. Gak bisa gak, sih, kalo karya kompleks begini. Buat bagian pertama, itu tentang narasi dan dialog, lebih tepatnya, gaya bahasa yang dipake.

Aku agak kaget baca novel ini. Gaya penulisan Pram di narasi buku ini sedikit beda dibanding karya-karya lain yang pernah kubaca (dan blom pernah kureview karena takut-takut hehe).

Roman dari Pram yang pernah kubaca itu “Gadis Pantai,” “Tetralogi Buru,” “Cerita Calon Arang,” kumpulan cerpen di “Menggelinding II.”

Nah, gaya tulisannya, tentu saja, khas dari Pram; yaitu realis. Kalimat-kalimat dari novel Pram itu bisa dibilang sederhana (materinya yang rumit 😅) dan langsung ke pokok masalah. Metafora dan personifikasi tetep ada, tapi gak terlalu banyak dan tetep menonjolkan kesederhanaan.

Sedangkan, di novel ini, aku melihat gaya tulisan Pram sedikit “berbunga-bunga” dan terselip beberapa metafora indah di dalamnya. Seperti :

Di belakang pagar itu tumbuhlah tanaman jagung. Sebentar-sebentar bila angin desir malam hari datang bertiup semua berayun-ayun dan bergemersik. Dan bila angin desir pergi pula, mereka bergoyang sebentar, kemudian berdiam diri sebagai tidur, …sebagai pemuda bermimpi dalam dambaannya.

Perburuan – hal.35

Atau, bisa liat yang ini :

Di bawah jembatan, di air, tampak berpuluh-puluh tonggak mencongak semeter di atas air, bekas jembatan berpuluh tahun yang lalu. Dan bila air menerjang tonggak-tonggak itu, mukanya jadi tertarik merupakan siku-siku yang menggetar.

Perburuan – hal.84

Diam…ketenangan yang tiada geraknya. Dan bunyi dari sekitar tiada kuasa menembusi pendengaran mereka bertiga. Dan tanah yang dipandang pun tiada. Kosong dan tegang dan hampa. Jembatan di atas tak terdengar berdegap-degap oleh kaki manusia dan binatang. Cambuk yang menggeletar tak bergetar. Dan sampah yang berpusing-pusing di dekat mereka tidak ada.

Perburuan – hal. 109

Kebanyakan, sih, tetep seperti gaya Pram biasanya.

Yang unik juga dari narasi dan dialog di buku ini adalah, keduanya digabung. Kalo novel biasanya, bahkan dalam karya Pram sekalipun, dialog tokoh biasanya dipisah lewat tanda kutip.

Misalkan dalam paragraf berikut ini :

Kembali kesunyian merajalela. Awan di atas telah jatuh menuju ke ufuknya. Terdengar dengung gung dari kampung; … hanya sekali. Kemudian disusul oleh rentetan pukulan gendang. Rupanya-rupanya niaga sudah sama datang. Dan belum lagi pukul delapan sekarang. Tidakkah Den Hardo sudi datang bertemu Ramli?

Percakapan Hardo dan Lurah Kaliwangan – hal.17

Dari awal narasi tentang setting, tiba-tiba tulisannya berubah haluan jadi dialog (lebih tepatnya monolog) dari Lurah Kaliwangan. Kalo baca baik-baik, sih, jelas kapan tokoh mulai bicara. Dan, petunjuk-petunjuk biasa, kayak “bisik Hardo…” atau “desahnya…” itu ada juga di narasinya. Kadnag-kadang juga gak ada, bikin kita harus hati-hati pas bacanya.

Nah, kalo kalian mutusin mau baca buku ini, siap-siap mikir lebih keras buat nentuin kapan Pram memulai dialog dan kapan Pram masuk ke narasi. Karena dua-duanya bahkan digabung dalam satu paragraf.

Salah satu yang menurutku spesial dalam dialog di novel ini adalah penyajian emosi dan ketegangan yang dinaik-turunkan dalam bentuk dialog. Buku ini miskin adegan, beneran, deh, tapi semua itu digantikan dengan narasi dan dialog yang kaya dan mengenyangkan. Soal ini, kubahas di lain tulisan, biar lebih puas, panjang-panjang nulisnya. Dan biar gak kepanjangan di sini aja.

Lanjut ke bagian kedua, yaitu bagian alur cerita, ya…

(Interpretasi Puisi) “Menyingkat Kata” oleh Remy Silado

Menyingkat Kata (2004)

oleh Remy Silado

karena

kita orang Indonesia

suka

menyingkat kata wr. wb.

maka

rahmat dan berkah ilahi

pun

menjadi singkat

dan tidak utuh buat kita.

Sumber : http://www.kumparan.com

Ini proyek baru, semoga konsisten (do’a pertama setiap kali aku mulai satu proyek haha).

Jadi, selama ini blogku selalu vakum karena aku bingung mau nulis apa. Inspirasi gak selalu keluar tiap hari. Jadi, kupikir, di sela-sela inspirasi yang tengah bermalas-malasan, tidur di sudut kepala, ya kenapa aku gak coba menginterpretasi puisi.

Warning : Ini interpretasi orang AWAM! :p

Aku rada-rada bingung kan mau interpretasi puisi apa dan oleh siapa, jadi aku browsing di google soal puisi-puisi yang lagi naik daun. Dan aku naksirlah sama puisi satu ini. Remy Silado aku kenal sebagai sastrawan yang kerap “nakal” di karyanya, sering melagukan puisi-puisi mbeling.

Tapi, cuma itu sih, yang aku tahu soal Remy Silado, padahal dia tenar. Maafkan aku, hai dunia sastra.

Waktu aku baca puisi ini, hal yang pertama kali terpikir adalah sederhana dan langsung ke pokok masalah. Dari yang kulihat ini emang harfiah banget, apa adanya. Memang sifatnya menyindir, tapi gak ada kata-kata khusus atau puitis yang bermakna ambigu, seperti puisi yang biasa aku kenal.

Tapi, emang bisa dibilang sastra angkatan modern begitu, ya. Lebih mengutamakan ekspresi daripada diksi yang njelimet dan aturan-aturan baku seperti rima dan sebagainya.

Waktu aku baca ulang, aku menyadari satu hal. Di puisi ini depannya gak ada yang pake huruf kapital. Karena aku gak yakin, aku cari di beberapa situs lain tentang puisi ini, dan benar, memang begitu adanya. Puisi itu ditulis tanpa huruf kapital dan titik di bagian akhir.

Kenapa, ya? Bisa jadi, Remy Silado ingin mendobrak aturan yang kaku yang dipaksakan di karya kita. Atau memang ini sindiran lain, buat orang-orang yang hobi chatting dengan make singkatan-singkatan dan kalimat-kalimat yang menyalahi PUEBI?

Dulu EYD, sekarang ganti PUEBI, kenapa kita terjebak banget sama hal-hal yang bersifat teknis, ya? (aku juga masih di situ-situ aja, sih haha).

Trus, bisa dilihat juga, ini khas karya puisi angkatan modern, karena gak terlalu berima. Tiga baris pertama sih, berima aaa, tapi sisanya gak lagi berima dengan teratur. Kalau ditelaah sih, jadinya a-a-a-b-c-d-e-a. Asli, ini interpretasi ngasal, namanya juga baru belajar, ya.

Dan selain itu, puisi ini juga gak mengikuti aturan lama, dimana bait-bait puisi terdiri dari 4 baris, semuanya dibikin satu bait dengan total 9 baris.

Kalo soal isinya, sekilas aku bilang terlihat harfiah, kan? Tapi, aku orangnya gak percayaan, jadi aku baca lagi berulang kali. Trus, kupikir-pikir, mana mungkin sih, Remy Silado bener-bener menganggap gara-gara menyingkat kata, maka rahmat dan berkah Ilahi berkurang?

Di sini, aku melihat titik terang bahwa puisi ini gak sepenuhnya harfiah. Frase “menyingkat kata” ini mungkin mengarah pada sikap orang-orang Indonesia yang mulai memangkas semuanya demi hidup yang serba cepat.

Gara-gara kita terjebak pada hidup yang serba cepat ini, semua hal di hidup kita jadi terpangkas pula. Pertemanan yang cuma sebatas komen-komen di Facebook, silaturrahmi keluarga juga mulai berkurang karena ngerasa udah sering chatting. Jadi, rasa bersyukur pun jadi berkurang, hingga rahmat dan berkah Ilahi serasa berkurang.

Sekarang, karena ekspektasi semakin tinggi, kesabaran dan keteguhan menghadapi tekanan juga berkurang. Ini yang kurasa maksud dari rahmat dan berkah Ilahi jadi singkat dan tidak utuh.

Seperti biasa, Remy Silado ingin menyentil orang-orang Indonesia yang mulai terjebak dalam kehidupan serba cepat, serba ringkas, dan serba dangkal. Wah, memang jagonya bikin puisi “nakal.”

Gimana menurut kalian, pecinta puisi? Bener gak interpretasiku, nih? Tinggalkan pendapat kalian di komen, ya!

Note : Setelah aku selesai nulis, baru aku baca kalo Remy Silado itu adalah pelopor di bidang puisi kontemporer. Termasuk angkatan modern gak ya itu? Nanti ah, bahas di tulisan selanjutnya!

Depok, 14 Juli 2019

Memaafkan Diri Bisa Mengurangi Prokrastinasi

Sekali, aku pernah baca di Psychology Today tentang prokrastinasi. Aku gak nemu kata ini di KBBI, mungkin belom sah sebagai bagian dari bahasa Indonesia. Emang ini kata serapan dari Bahasa Inggris yang artinya “menunda.”

Menunda itu kata yang jelek banget di budaya Indonesia. Dan selalu dikait-kaitkan dengan kata malas, yang juga sangat dipandang rendah. Mungkin karena itu bahkan KBBI pun males masukin kata itu ke daftarnya. Hehe..

Yah, sebenernya gak tepat kalo disandingkan dengan budaya Indonesia aja, soalnya kemalasan atau sloth itu ada di antara 7 deadly sins. Tadinya aku pikir ini asalnya dari injil, tapi pas kubaca-baca lagi, 7 deadly sins ini ditetapkan oleh Pope Gregory I pada sekitar tahun 600 M (di sumbernya kurang jelas, tapi tebakanku sih masehi, ya) sebagai doktrin Katolik. Emang tetep berdasarkan 10 perintah Tuhan di Injil.

Sumbernya bisa dibaca di sini nih :

10 Perintah Allah dan 7 Dosa Pokok.

What Are 7 Deadly Sins?

Nah, aku juga tipe yang begini nih, pemalas. Aku bisa lho, seharian kerjanya tidur-tiduran atau gak mandi seharian, cuma karena males. Gak bangga sih, tapi itulah kenyataannya haha…

Sebelumnya, aku minta maaf dulu ya, kalo opiniku soal kemalasan dan prokrastinasi ini bakal tumpang-tindih. Soalnya, dua-duanya gak bisa dipisahin, sih. Setidaknya, dalam konsep yang udah melekat di masyarakat.

Nah, aku nemuin artikel yang menarik di Psychology Today, kalo ada penelitian yang nunjukin kalo self-forgiveness bisa mengurangi prokrastinasi. Lengkapnya bisa baca di link ini : Self-Forgiveness Reduces Procrastination.

Kenapa gitu?

Setiap kali kita ngelakuin prokrastinasi, biasanya yang timbul karena rasa bersalah akibat norma agama dan sosial tadi. Rasa bersalah itu bikin kita stres sendiri dan akibatnya, bukannya konsentrasi ke apa yang harus kita kerjain, malah jadi konsentrasi ke rasa bersalahnya.

Akibatnya lagi, ya jadi males ngerjain tugas karena beban-beban yang gak perlu hinggap di pundak kita. Makanya, daripada kita ngeberat-beratin badan kita yang udah berat (ssstt!!!), mending kita maafkan diri karena udah ngelakuin kesalahan trus lanjutkan hidup.

Buat contoh konkrit, aku sering kejebak dalam prokrastinasi. Biasanya, aku lari ke maen game. Semakin aku pusing dengan kata-kata yang kurangkai, aku makin tertarik buat maen game.

Kalo udah maen game, bisa ngabisin waktu berjam-jam. Setelah waktu itu habis buat maen game, yang kesisa cuma perasaan bersalah, karena waktu-waktu itu sebenernya bisa menghasilkan satu tulisan yang lain.

Kalo aku tenggelam dalam rasa bersalah, biasanya semangatku jadi turun dan jadi males ngapa-ngapain. Dan kalo udah gini, aku coba maen game buat ngeredain stresnya. Gak selesai-selesai deh, urusan.

Jadi, kalo aku mau ngurangin kebiasaan maen game, aku maafkan diri yang udah buang-buang waktu itu. Trus kompensasikan dengan bikin karya, kayak tulisan satu ini.

Malah bingung mau nulis apa? Coba baca artikelku yang ini : Membujuk Diri untuk Menulis.

Dan kalo ada keinginan kuat buat maen game, ya udah maen aja dulu. Dengan tetap inget, kalo waktu itu harus dibagi dengan proporsional, baik buat maen, baik buat berkarya.

Biasanya, ini sukses. Jadi, aku setuju dengan artikel yang bilang kalo self-forgiveness reduces procrastination. Dengan catatan, kita tetep harus terus belajar manajemen diri. Salah itu proses belajar, kalo gak salah, kita gak tahu apa itu benar.

Jadi, santai dan teruslah belajar, jangan fokus ke hasil aja. Proses itu paling penting.

Depok, 10 Juli 2019

Membujuk Diri Untuk Menulis

Membujuk? Kok aneh, ya?

Mungkin kalian bakal mikir begitu waktu mendengar kata ini. Biasanya kan orang make kata “memaksa,” bener gak? Tapi, enak gak sih, dipaksa? Gak enak kan, kalo dipaksa? Sama, diri kita juga gak suka dipaksa-paksa. Jadilah baik buat diri sendiri, biar diri kita juga baik sama kita.

Selain itu, kita semua pasti tahu kalo kata-kata itu punya kekuatan untuk mempengaruhi pikiran kita. Makanya, aku juga mengganti kata “memaksa” jadi “membujuk” biar diri kita tahu kalau dia lagi dibaik-baikin.

Nah, awal cerita dari tulisan ini adalah kejadian beberapa bulan yang lalu, apa udah setahunan, ya? Aku ikut kulwap alias kuliah whatsapp, yang lagi populer di Indonesia, karena semua orang Indonesia kayaknya lekat banget sama whatsapp ini.

Ngomong-ngomong, ini sekadar fun fact, tapi ternyata orang Amerika, dimana Mark Zuckerberg lahir, malah males banget pake WA. Aku baru tahu sekarang-sekarang ini. Mereka lebih milih buat SMS-an. Wow! (Mungkin karena provider mereka gak nerapin tarif mahal macam di Indonesia ini.) Atau FB messenger. Salah satu orang Amerika bilang, “I need to get away from Mark a little bit.”

Mungkin gak tepat kayak gitu, tapi intinya begitu. Mungkin emang hidup kita terlalu diatur sama Mark Zuckerberg ini. Facebook juga, Instagram juga, masa messenger juga? Haha…

Maaf, aku biasa ngelantur. Balik lagi, soal kulwap. Kulwap itu kulwap nulis dari Media Berkarya, dan mentornya Agus Noor dan Ivan Lanin. Aku suka dengan cerpen-cerpen Agus Noor, jadi aku langsung daftar. Karena aku rada kurang gaul ya, aku gak kenal sama Ivan Lanin. Ternyata, Ivan Lanin ini ahli bahasa Indonesia. Kurang-lebihnya aku kurang tahu.

Nah kan, bener-bener gak gaul. Maaf, Uda Ivan Lanin huhu…

Jadi, dalam kulwap ini Agus Noor bagi-bagi tips dalam menulis. Pertama, tentang kedisiplinan. Kalau mau jadi penulis, harus menulis tiap hari. Kalau gak ada ide, cukup dengan menulis tentang apapun yang ada di sekitar kita.

Kedua, tentang menulis kreatif. Dia memberikan tips untuk membuat kata-kata kunci. Kata-kata kunci ini tentunya gak boleh berhubungan satu sama lain. Ini fungsinya supaya tulisan kita mengalir ke arah yang kita sendiri gak sangka, apalagi orang lain!

Paling enaknya sih, ngobrol langsung sama ahlinya, biar dapet full tips dan bisa nanya-nanya langsung dengan bebas. Coba aja cek instagram @mediaberkarya buat ikutan kulwapnya. Selain Agus Noor, ada banyak lagi sastrawan-sastrawan lain yang jadi mentornya. Lah, kok aku jadi promo, ya haha…

Tapi, yang lebih penting dari semua tips menulis yang kita dapet adalah satu; pelaksanaannya.

Ini juga masalah paling sering kudenger dari semua penulis, baik yang pro, baik yang sekadar hobi. Writer’s block, alis ngeblank, gak tahu mau nulis apa. Akibatnya, ya pasti pelaksanaannya keganggu.

Ini lingkaran setan penulis, sepanjang yang aku alamin. Kita WB, trus gak nulis-nulis, akhirnya otak kita gak terasah buat merangkai kata, dan balik lagi, ya jadi WB. Gitu aja terus.

Aku juga ngalamin ini. Dan aku tahu masalahnya bukan sekadar males, bukan sekadar sibuk, masalahnya biasanya lebih kompleks dari itu.

Namun, apapun itu, kata kunci lain yang menurutku penting adalah “kemauan.” Seperti kata Agus Noor, gak perlu langsung menghasilkan karya hebat begitu kita mutusin duduk dan nulis, tapi cukup menulis yang terjadi di sekitar kita. Sesepele apapun, itu bisa jadi bahan.

Bahkan, aku lagi jadiin ini proyek pribadi. Di blog ini, aku pernah menulis tentang nenek-nenek yang tinggal sendirian, hanya karena aku mendengar suara sapu lidi menggesek semen di luar rumah jam 3 pagi.

Kalau mau baca, ini tulisannya : Just Another Dawn.

Iya, dalam bahasa Inggris, karena waktu itu kepikiran buat jadiin blog ini internasional. Sekarang, aku pikir kok bodoh ya, kan aku mau jadi penulis di Indonesia, dengan menggunakan bahasa Indonesia, tapi kok malah ngawur kemana-mana. Padahal, kalo mau belajar bahasa inggris, cukup dengan ngobrol sama temen.

Trus ada lagi tulisan yang aku bikin cuma karena suasana hatiku lagi datar, bukan hanya bosen, kayak datar aja gitu. Ini dia tulisannya : Malam Terakhir.

Atau, gak perlu jadi karya juga gak apa-apa. Seperti buku harian atau jurnal keseharian juga cukup.

Dan, begitu ini dilaksanain, biasanya kata-kata akan mengalir keluar, seperti air terjun di alam tropis yang masih belum dirusak sama manusia (teteeeeppp), mengalir deras.

Seperti yang baru aja kejadian, sebagian tulisan ini hilang gara-gara internet lemot. Tapi, begitu aku bujuk-bujuk diriku buat nulis yang baru aja, daripada berkutat dengan kekesalan karena separuh curahan pikir dan rasa hilang, jadilah tercipta tulisan yang sekarang ini.

Aku bahkan gak bisa menulis ulang tulisan yang udah hilang tadi, tapi aku rasa tulisan yang baru akan cukup jadi pengganti. Mungkin lebih baik daripada yang kukira, walaupun gak ada yang bisa buktiin, kecuali Tuhan. Hehe…

Apakah kalian mau jadi penulis? Gak usah kebanyakan mikir plot twist dulu, atau tulisan yang kreatif-spektakuler dulu, disiplin aja dulu. Nanti idenya juga bakal kebentuk sendiri.

Semoga sukses, diri dan kalian!

Depok, 8 Juli 2019

Kekuatan Acak

Masih dengan masalah yang sama, dan berulang kali kejadian, kayak candu yang menghantui terus-menerus, konsistensi. Kalo inget kata itu, atau nyebut kata itu, aku langsung nunduk. Depresi.

Gak sedih-sedih amat sih, kalau ngeliat politisi kita. Mereka sama gak konsistennya sama aku. Kalau mau baca pendapatku soal mereka, klik link ini : Koalisi yang Inkonsisten.

Ini penyakit serius, apalagi untuk orang yang (katanya) mau ngejar karir. Boleh aja sih, tapi jangan harap sukses haha. Sukses dalam standarku, yaitu nulis setiap hari, dan menyelesaikan banyak tulisan, fiksi dan non-fiksi setiap bulan (wadaaww, ngebayanginnya aja merinding haha).

Sebenernya, waktu aku masih hobi main Facebook, sebelum Facebook dikuasai ahli politik-politik praktis dan Tuhan-tuhan baru, aku suka latihan di sana. Nulis apa aja, dengan acak , biasanya dengan gitu ide muncul sendiri untuk nulis yang lain.

Sekarang aja, mulai ada ide lagi buat nulis.

Aku inget pelajaran SMA tentang gerak Brown, yaitu gerak acak. Karena ingatanku rada-rada, yang kuinget adalah gerak Brown ini hanya terjadi pada sel. Ternyata, itu terjadi pada benda-benda lain. Aku rasa intinya, semua hal yang punya molekul. Tunggu, semua hal di dunia ini emang terdiri dari molekul, kan? Apa khusus untuk benda cair?

Aku gak bakal mulai bicara soal molekul, jelas bukan bidangku. Kalian mau tahu soal gerak Brown? Kalian masuk ke blog yang salah, mending langsung ke sini aja :

https://www.temukanpengertian.com/2016/02/pengertian-gerak-brown.html?m=1

Dari sumber di atas, aku baca contoh gerak Brown pada susu. Jadi, kenapa susu gak ngendap walaupun dibiarin itu ternyata berkat gerak Brown ini. Karena molekulnya saling tabrakan, makanya dia tetap keaduk (tanpa terlihat tentunya).

Hebat, ya? Alam mengatur dirinya sendiri. Aku gak ngerti kenapa manusia suka banget ikut campur soal itu. Ya, aku rasa karena manusia mau alam tunduk pada mereka untuk memenuhi kebutuhan dan kehendak mereka.

Lumayan egois kesannya. Tapi, asal keseimbangannya terjaga, aku rasa semua sah-sah aja. Lihat, betapa acak tulisanku sekarang ini?

Dan kebutuhan akan kekuatan acak, ternyata, berlaku juga buat imajinasiku. Dia butuh gerak acak, benturan-benturan molekul itu, supaya terus bergerak. Inilah fungsi tulisan ini sekarang, untuk membuat ide-ide di kepalaku saling baku hantam lagi.

Kapan kita harus berhenti belajar? Jangan sampai.

Depok, 3 Juli 2019